Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lawe Lurik Kian Dilirik

Kompas.com - 21/02/2011, 08:48 WIB

KOMPAS.com - Berawal dari kecintaan pada budaya tenun tradisional di Indonesia, lima perempuan menceburkan diri dalam dunia lurik di sekitar Klaten, Jawa Tengah. Namun, dari upaya konservasi tenun tradisional itu, ternyata ada nilai tambah, ada pemberdayaan perempuan. Banyak manfaat diraih.

Langkah itu dimulai pada 3 Agustus 2004, dengan didirikannya Lawe sebagai perhimpunan oleh Adinindyah Feriqo, Ita Natalia, Paramita Iswari, Rina Anita, dan Westiani Agustin. Lurik dipilih karena lokasi produksinya di Klaten, dekat dengan Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama lawe berarti "serat alam" atau "benang".

Adinindyah Feriqo (37), ketua perhimpunan Lawe, menceritakan, sampai tahun 2006, Lawe masih ”bergerilya”. Produksi sudah berjalan, namun masih sebatas dijual kepada rekan-rekan. Modal awalnya sekitar Rp 3,5 juta, dihimpun dari iuran mereka berlima dan pinjaman kerabat.

Bahan-bahan itu dikreasikan menjadi berbagai bentuk, di antaranya dompet, kantong kecil, tas (tas jinjing, tas laptop, tas belanja yang bisa dilipat, dan sebagainya), bahkan baju. Lurik bermotif salur dipadukan dengan lurik polos, berwarna terang maupun gelap. Hasilnya, barang-barang cantik, unik, dan gaya.

Tahun 2005 dan 2006, Lawe sempat menitipkan produk dalam ajang pameran kerajinan Inacraft, di Jakarta. Namun, hasilnya tidak menggembirakan. ”Produk susah terjual, kami sempat agak pesimis. Lurik belum populer,” kenang Adinindyah di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Kondisi itu berubah pada tahun 2007, saat Lawe benar-benar aktif terjun berbisnis. Menggunakan dana pinjaman, Lawe menjadi peserta Inacraft secara mandiri. Lain ceritanya. Sebagai peserta, Lawe bisa berinteraksi dengan calon pembeli dan pengunjung. Terutama, menceritakan tujuan dan proses pembuatan produk Lawe. Produk sukses terjual.

Lawe memang tak main-main dengan kualitas. Konsekuensinya, tidak bisa bersaing dengan kerajinan asal-asalan berharga miring. Harga produk Lawe memang terkesan menyasar kelompok masyarakat menengah-atas. Namun, sebanding dengan tingkat kesulitan proses pembuatan tenun dan bahan dasar berkualitas yang dianut Lawe.

Meski yakin tetap ada segmen pembeli, siasat tetap dilakukan agar produk Lawe terjangkau semua kalangan. Caranya, bahan dikombinasikan dengan bahan lain—tak melulu lurik—sehingga harganya terjangkau.

Lawe terus berkembang. Galeri yang menjual produk Lawe pun didirikan, berdampingan dengan galeri pelukis almarhum Amri Yahya di Yogyakarta. Setiap menjelang Idul Fitri, Lawe menggenjot produksi untuk mengisi ruang pamer di kawasan Alun-alun Selatan Yogyakarta.

Menurut Adinindyah, saat ini Lawe tengah berproses menuju koperasi. Sebagai badan sosial, unit bisnisnya akan dikembangkan dan dilegalkan menjadi koperasi. Selain bisnis, Lawe juga mengemban misi sosial agar semua orang punya kesempatan berkembang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com